Kodifikasi Al Qur'an Periode Nabi

Upaya kodifikasi Al-Qur’an (jam’ Al-Quran) dilakukan pada zaman Rasulullah SAW dan zaman para khalifah. Setiap upaya kodifikasi memiliki keistimewaan dan kekhasannya masing-masing.  Menurut As-Shabuni, upaya kodifikasi Al-Qur’an dilakukan di masa Nabi Muhammad SAW dengan menempuh dua jalan. Pertama, kodifikasi Al-Qur’an dalam dada dengan cara hafalan dan ingatan. Kedua, kodifikasi Al-Qur’an dalam catatan dengan jalan penulisan dan goresan.

Kodifikasi Al-Qur’an dengan dua cara di atas dibicarakan secara detail dalam kajian Ulumul Qur'an untuk menunjukkan besarnya perhatian kita pada Al-Qur’an, pencatatan dan kodifikasinya. Besarnya perhatian terhadap Al-Qur’an berikut pencatatan dan kodifikasinya ini, menurut As-Shabuni, melebihi perhatian orang terhadap kitab samawi sebelumnya.

Al-Qur’an diturunkan kepada seorang nabi yang tumbuh dalam kultur masyarakat yang ummi sehingga ia mengerahkan perhatiannya untuk menghafal Al- Qur’an untuk mengingatnya sebagaimana diturunkan kepadanya. Ia kemudian membacakannya dengan tenang kepada para sahabatnya agar mereka menghafalnya sebagaimana keterangan Surat Al-Jumuah ayat 2 :

 هُوَ ٱلَّذِى بَعَثَ فِى ٱلۡأُمِّيِّـۧنَ رَسُولاً۬ مِّنۡہُمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡہِمۡ ءَايَـٰتِهِۦ وَيُزَكِّيہِمۡ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلۡكِتَـٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبۡلُ لَفِى ضَلَـٰلٍ۬ مُّبِينٍ۬ (٢)

“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS al-Jumuah:2)

Dalam kultur masyarakat ummi, Rasulullah mengandalkan daya hafal dan daya ingatnya karena tidak membaca dan menulis. Demikian kondisi bangsa Arab secara umum ketika Al-Qur’an diturunkan. Bangsa Arab ketika itu menikmati betul kekhasan bangsanya, yaitu mempunyai daya ingat yang baik dan mempunyai kecepatan hafalan atas sesuatu.

Bangsa Arab sanggup menghafal ratusan ribu syair. Mereka dapat mengenali secara urut nasab dan keturunan seseorang atau suatu klan di luar kepala. Mereka sanggup memahami sejarah. Jarang sekali mereka yang tidak memahami keturunan dan nasab keluarganya atau tidak menghafal syair-syair terbaik karya para sastrawan Arab hebat yang digantung di Ka’bah.

Rasulullah SAW memberikan perhatian luar biasa kepada Al-Qur’an. Rasulullah SAW menghidupkan malam dengan membaca Al-Qur’an di dalam ibadah sembahyang, membacanya di luar sembahyang, dan merenungkan maknanya sehingga kedua kakinya memar karena terlalu lama berdiri dalam shalat malam untuk membaca Al-Qur’an sebagaimana keterangan Surat Al-Muzzammil. Tentu tidak heran kalau Rasulullah SAW bergelar sayyidul huffazh. Ia memeliharan Al- Qur;an dalam hatinya dan menjadi rujukan umat Islam di masanya perihal Al- Qur’an.

Para sahabat juga memiliki perhatian yang besar terhadap Al-Qur’an. Mereka berlomba untuk membaca dan mempelajari Al-Qur’an. Mereka mengerahkan segenap kemampuannya untuk menghafal Al-Qur’an. Mereka mengajari istri dan anaknya Al-Qur’an di rumah-rumah. Bila melewati rumah para sahabat di tengah kegelapan malam, niscaya kita akan mendengar suara orang membaca Al-Qur’an sebagaimana dengung lebah. Bahkan Rasulullah SAW pernah melewati sebagian rumah sahabat Anshor di kegelapan malam. Beliau lalu berhenti sejenak untuk mendengarkan mereka membaca AL-Qur’an dari luar.

Rasulullah SAW mengobarkan semangat untuk menghafalkan Al-Qur’an. Dari sini lahirnya banyak sahabat penghafal Al-Qur’an. mereka ditugaskan ke berbagai penjuru daerah dan kota untuk mengajarkan Al-Qur’an untuk mengajarkan Al- Qur’an kepada penduduk setempat. Sebelum peristiwa hijrah, Rasulullah SAW mengutus sahabat Mush’ab bin Umair dan Abdullah bin Ummi Maktum ke Madinah. Rasulullah SAW juga pernah mengutus sahabat Mu’adz bin Jabal ke Makkah setelah peristiwa hijrah.

Imam Bukhari dalam Kitab Shahih-nya menyebut tujuh sahabat terkemuka penghafal Al-Qur’an. Mereka adalah Abdullah bin Mus’ud, Salim bin Ma’qil budak Hudzaifah, Muadz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid (Qais) bin Sakan, dan Abu Darda. Abu Ubadi dalam Kitab Al-Qira’at menyebutkan sejumlah  ahli Al-Qur’an di kalangan sahabat. Mereka (kalangan muhajirin) adalah empat khalifah rasul, Thalhah, Sa’ad, Ibnu Mas’ud, Hudzaifah, Salim, Abu Hurairah, Abdullah bin Sa’ib, abadilah arba’ah atau empat Abdullah (yang terdiri atas Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Amr bin Ash, Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Zubair), Aisyah, Hafshah, Ummu Salamah. Sedangkan ahli Al-Qur’an dari kalangan sahabat Ansor adalah Ubadah bin Shamit, Mu’adz, Majma’ bin Jariyah, Fadhalah bin Ubaid, Maslamah bin Makhlad, dan banyak sahabat lainnya.

Adapun keistimewaan Al-Quran yang kedua adalah kodifikasi dan penulisannya dalam mushaf. Tiap kali Al-Quran turun Rasulullah Saw langsung memanggil para sahabat untuk mencatat ayat yang baru saja diterimanya. 'Utsman bin 'Affan mengatakan: "Tiap kali ada ayat yang turun, Nabi Saw. langsung memanggil para pencatat wahyu dan berkata kepadanya, "Letakkanlah ayat ini dalam surat yang di dalamnya disebut begini dan begitu.”

Bahkan demi menjaga keotentikkan dan kemurnian Al-Quran, Nabi Saw. melarang para sahabat menulis sesuatu selain Al-Quran. Menurut al-Nawawi, larangan ini berlaku ketika dikhawatirkan tulisan yang bukan Al-Quran tercampur menjadi satu dengan Al-Quran, sehingga seseorang tidak bisa membedakan mana yang Al-Quran dan mana yang bukan. Sedangkan jika tidak ada kekhawatiran tersebut maka diperbolehkan. Lebih tegas, Ibn Hajar al-‘Asqalânî menandaskan bahwa larangan tersebut berlaku pada masa turunnya wahyu (Waqt nuzul al-Qur'an) karena khawatir Al-Quran bercampur dengan yang lainnya.  

Dalam satu keterangan, sahabat-sahabat Nabi. Saw. yang termasuk sebagai pencatat wahyu (kuttab al-wahy) mencapai 42 orang. Di antara ke-42 orang tersebut yang masyhur adalah Abu Bakar (w. 13 H.), Umar bin al-Khatthâb (w. 23 H.), 'Utsmân bin 'Affân (w. 25 H.), 'Ali bin Abi Thalib (w. 40 H.), Zaid bin Tsâbit (w. 45 H.), Ubay bin Ka'ab (w. 30 H.), Mu'awiyyah bin Abi Sufyân (w. 60 H.), Khalid bin Walid (w. 21 H.), Abbân bin Sa'id (w. 13 H.), dan Tsâbit bin Qais (w. 12 H.). Dari jumlah para pencatat wahyu tersebut, sebagian besar berperan ketika berada di Madinah. Di antara sederet nama-nama kuttab al-wahy yang masyhur tersebut, Zaid bin Tsâbit bisa dikatakan sebagai yang terdepan. Beliau adalah seorang yang dalam periode kemudian (setelah Nabi Saw. wafat) terpilih sebagai orang yang diamanati untuk mengumpulkan Al-Quran. Menurut Ibn Hajar al-'Asqalâni, penyebab nama Zaid dalam dunia penulisan wahyu berada di atas angin dibanding yang lainnya adalah dikarenakan ia termasuk orang yang paling sering menulis wahyu kendati Zaid sendiri baru masuk Islam setelah Nabi Saw. hijrah ke Madinah. 

Sebelum Zaid masuk Islam, unit-unit wahyu yang diterima Nabi Saw. di Madinah ditulis oleh Ubay bin Ka'ab. Oleh karenanya, Ubay tercatat sebagai orang yang pertama kali menulis wahyu di Madinah. Sebenarnya Zaid bin Tsâbit pun tidak selalu hadir di sisi Nabi Saw. karena terkadang ia bepergian. Sebab itulah wahyu di Madinah terkadang dicatat oleh orang lain. Sementara al-Khulafa al-Arba'ah (Abu Bakar, Umar, Utsmân dan 'Ali), al-Zubair bin al-Awwâm, Khalid bin Sa'd bin al-'Ash bin Umayyah dan saudaranya, Abban bin Sa'd bin al-'Ash bin Umayyah, Hanzhalah bin al-Rabi' al- Usayyidi, Mu'aiqib bin Abi Fathimah, Abdullah bin al-Arqâm al-Zuhri, Syarhabil bin Hasanah dan Abdullah bin Rawahah tercatat sebagai orang-orang yang menulis Al-Quran secara global.

Mereka (para pencatat wahyu) menuliskan wahyu di atas al-‘asb (pelepah kurma), al-likhaf (batu putih yang tipis), al-riqa' (kulit atau dedaunan), al- karanif ( pangkal pelepah kurma yang keras), al-aktaf (tulang bahu hewan), al-aqtab (kayu yang diletakkan di punggung unta), al-adhla’ (tulang rusuk hewan), al-adim (kulit hewan yang telah disamak). Setelah penulisan wahyu di atas benda-benda tersebut, para sahabat menamakan benda-benda tersebut dengan nama al-Shuhuf dan ditempatkan di rumah Nabi Saw.. Di antara para sahabat ada yang menulis sebagian surat-surat Al-Quran untuk dirinya sendiri, seperti yang dikatakan dalam kisah masuk Islamnya 'Umar bin al-Khaththab. Ketika itu Sahabat Umar masuk ke rumah saudarinya yang bernama Fâthimah dan mendapati saudarinya beserta suaminya sedang dibacakan surat Thâhâ yang terdapat dalam lembaran oleh Khubâb bin al- Art.

Sumber:

  • Muhammad Ali as-Shabuni, at-Tibyan fi Ulum al-Quran
  • Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an
  • Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy'ats al-Sijistâni, Sunan Abi Dawud, vol. I
  • Abu Zakariyya Yahyâ bin Syaraf al-Nawawi, Syarh al-Nawawi 'ala Muslim, vol. XVIII
  • An-Nawawi, Syarh al-Nawawi 'ala Muslim, vol. XVIII
  • Ahmad bin Hajar Abu al-Fadhl al-'Asqalani, Fath al-Bari, vol. I
  • Muhammad Salim Muhaisin, Tarikh al-Quran al-Karim
  • Tim RADEN 2011, Al-Quran Kita: Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamullah

 Last Modified: 15/3/2024