Pelaksanaan Otonomi Daerah

PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH   
Tahun 2001 merupakan awal pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undangn No. 25 Tahun 1999 yang secaa serentak diberlakukan diseluruh provinsi di Indonesia. Menurut Widjaja (2004:65) “ dengan diberlakukannya Undang-Undang No.  22 tahun  1999 dan UndangUndang No. 25 tahun 1999. Mulai tanggal 1 Januari 2004 Menteri Dalam Negeri dan otonomi daerah  memberi petunjuk yang dapat dipedomani dalam penyusunan dan pelaksanaan APBD.

Menurut Sekretaris Ditjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Departemen Keuangan Negara Djoko Hidayamto (2004) “pelaksanaan Otonomi daerah di Indonesia efektif dimulai pada tanggal 1 Januari 2001”. Menurut Direktur Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Departemen Keuangan Republik Indonesia Kadjatmiko (2004) “1 Januari 2001 merupakan momentum yang mempunyai arti penting bagi bangsa Indonesia khususnya bagipenyelenggara pemerintah di daerah, karena pada tahun tersebut kebijakan tentang otonomi daerah mulai dilaksanakan secara efektif”.

Menurut  Widjaja (2004:100) “inti dari konsep pelaksanaan otonomi daerah  adalah upaya memaksimalkan pelaksanaan daerah dimulai dari tahun 2001”. Misi utaman pelaksanaan otonomi daerah adalah : Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan.

Untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab diperlukan kewenangan dan kemampuan dalam menggali sumber keuangan sendiri yang sisukung oleh perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Dalam hal ini kewenangan keuangan yang melekat pada setiap pemerintahan menjadi kewenangan pemerintah daerah.Dalam menjamin terselenggaranya otonomi daerah yang semakin mantap, maka diperlukan kemampuan untuk meningkatkan kemampuan keuangan sendiri yakni dengan upaya peningkatan PAD, baik dengan meningkatkan penerimaan sumber PAD yang sudah ada maupun dengan penggalian sumber PAD yang baru sesuai dengan ketentuan yang ada serta memperhatikan konsisi dan potensi ekonomi masyarakat. Dalam pelaksanaan upaya peningkatan PAD, perlu diadakan analisis potensial PAD. 

Dalam konteks pelaksanaan Otonomi Daerah adalah keliru jika hanya berorientasi pada tuntutan penyerahan kewenangan tanpa menghiraukan makna dari Otonomi Daerah itu sendiri, yang lahir dari suatu kebutuhan akan efisiensi dan efektivitas manajemen penyelenggaraan pemerintahan yang bertujuan untuk memberi pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. 

Disisi lain tuntutan Otonomi Daerah seharusnya dipandang sebagai upaya untuk mengatur kewenangan pemerintahan sehingga serasi dan focus pada tuntutan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian Otonomi Daerah bukanlah tujuan tetapi suatu instrument untuk mencapai tujuan (james W.Fesler,1965, AF.Leemans,1970. Instrument tersebut harus digunakan secara arif tanpa harus menimbulkan konflikantar Pusat dan Daerah atau antar Provinsi dengan Kabupaten/Kota. Karena jika demikian makna Otonomi daerah menjadi kabur. Penyelenggaraan Desentralisasi sebagaimana diamanahkan dalan Undang-Undnag Nomor 32 Tahun 2004 mengisyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pemerintah daerah umunya menganggap bahwa kebijakan Otonomi Daerah yang ada saat ini melalui UU No. 32  Tahun 2004  merupakan sebuah kebijakan yang sangat baik terutama bag daerah dalam rangka mengembangkan potensi daerahnya. Hal ini dikarenakan : pertama, bahwa secara politis kebijakan tersebut akan memberikan keleluasaan pada Pemerintah daerah untuk dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah. Kedua, secara ekonomis Pemerinta Daerah  akan diuntungkan karena mempunyai wewenang yang lebih besar untuk menglola dan memanfaatkan potensi sumber daya alam yang terdapat di wilayahnya.

Dengan demikian maka Pemerintahan Daerah kabupaten mempunyai wewenang yang sangat luas dalam menata daerahnya dalam hal ini menjalankan dinamika pemerintahannya serta memanfaatkan berbagai sumber daya yang berada diwilayahnya. Penekanan pelaksanaan kebijakan Otonomi Daerah  yang berada pada daerah kabupatten dan kota, kemudian menciptakan anggapan bahwa Pemerintah Daerah mempunyai wewenang untuk melakukan berbagai langkah sesuai dengan kondisi obyektif daerah serta disesuaikan pula degan tuntutan dari dinamika masyarakat daerah rangka pelaksanaan kebijakan Otonomi Daerah. 

Berdasarkan hal tersebut mka Pemerintah  Daerah kemudian menjabarkan pelaksanaan Undang-Undang No. 32 Tahun 20034 tentang Otonomi Daerah ke dalam berbagai Peraturan Daerah (PERDA), peraturan kepala daerah, dan ketentuan daerah lainnya. Dengan demikian maka posisi Pemerintah Daerah menjadi sangat penting karena menjadi titik sentral dari seluruh proses pelaksanaan berbagai kebijakan yang diterapkan diwilayahnya. Kondisi ini tetu dapat menjelaskan bagaimana sikap Pemerintah Daerah yang kemudian berubah menjadi pusat dari seluruh  pelaksanaan kebijakan dan tidak hanya sebagai pelaksana saja dari apa yang telah diatur oleh Pemerintah Pusat, seperti pada era sebelumnya.

Kewenangan antara pusat dan daerah dalam konteks kewenangan pusat dan daerah dalam pelaksanaan kebijakan Otonomi Daerah belum sepenuuhnya bisa terlaksana dengan baik. Disatu sisi PemerintahDaerah marasa bahwa kewenangan-kewenangan tersebut kepada Pemerintah Daerah. Adanya keengganan Pemerintah Pusat untuk memberikan kewenangan yang terlalu besar kepada daerah, didasarkan pada alasan bahwa belum semua daerah siap untuk melaksanakan Kebijakan Otonomi Daerah. Selain itu kurangnya sumber daya manusia yang cukup memadai serta belum terbiasanya Daerah menerimaa kewenangan yang begitu luas.

Ditambah lagi dengan alasan bahwa segala sesuatunya harus berada dalam konteks Negara Kesatuan dalam rangka menjaga keutuhan wilayah dan mewujudkan tujuan negara. Alasan-alasan tersebut menjadi pembenaran dari pada sikap Pemerintah Pusat. Disatu sisi, alasan-alasan tersebut cukup memiliki dasar yang kuat dimana hampir sebagian besar Daerah di Indonesia masih memiliki keterbatasan-keterbatasan. Akan tetapi tetap saja bahwa pihak daerah haruslah diberikan ruang berdasarkan wewenang yang diberikan oleh konstitusi kepdanya, untuk dapat menata wilayahnya sendiri, sesuai dengan aspirasi masyarakatnya. Dalam kondisi tark menarik tersebut, berbagai permasalahan kemudian dapat timbul akibat keengganan Pemerintah Pusat untuk lebih mempercayai Pemerintah Daerah dalam mengelola daerahnya. Hal tersebut akan tampak dalam operasionalisasi kebijakan Otonomi Daerah, yang kerapkali membingungkan Pemerintah Daerah. Dalam pelaksanaaan kebijakan Otonomi Daerah, kebingungan yang dialami oleh Pemerintah Daerah disebabkan oleh karena masih tumpang tindihnya wewenang yang mengatur berbagai persoalan dalam rangka pelaksanaan kebijakan ini.
Sumber: Materi Kuliah PKn Mata Kuliah PKn UT