Sejarah Perkembangan Filsafat Ilmu dan Aliranya


SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT ILMU DAN ALIRANNYA
A.  Latar Belakang
Filsafat dan Ilmu adalah dua kata yang saling berkaitan baik secara substansial maupun historis. Kelahiran suatu ilmu tidak dapat dipisahkan dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh aliran-

aliran pemikiran filsafat barat. Tanpa bermaksud untuk mengkonsentrasikan kajian pada pemikiran barat dan mengesampingkan pemikiran timur (Islam), kajian ini akan lebih banyak mengulas tentang sejarah aliran-aliran pemikiran barat dimulai dari zaman Yunani klasik yang pada akhirnya melahirkan spesialisasi dan sub-spesialisasi ilmu pada abad ke-20. 
Pengetahuan Ilmiah atau Ilmu (Science) pada dasarnya merupakan usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan pengetahuan sehari-hari yang dilanjutkan dengan suatu pemikiran cermat dan seksama dengan menggunakan berbagai metode. Dan karena pengetahuan ilmiah a higher level of knowledge, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai pengembangan dari filsafat pengetahuan. Bidang garapan filsafat ilmu tidak jauh dari komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga eksistensi pengetahuan ilmiah, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Oleh karena itu, penting dan menarik kiranya kita dapat menggali kembali sejarah perkembangan filsafat ilmu serta aliran-alirannya, sebagai suatu landasan berfikir kita demi mengembangkan ilmu pengetahuan secara luas dan mendalam yang akan berimplikasi kepada kehidupan manusia yang lebih baik.
B.  Sejarah Filsafat Ilmu
Berbicara asal muasal filsafat ilmu tentu tidak akan lepas dari filsafat Yunani Kuno dan aliran yang dianutnya, dimana perkembangan Filsafat dimulai dari Yunani dan filsafat yang tertua juga dari Yunani. Tidak lain dan tidak bukan termasuk filsafat Ilmu juga demikian. Pemikiran manusianya yang tertata, dibanding bangsa lain pada masa itu, oleh karenanya kiblat ilmupun berasal dari kota itu.
Filsafat muncul ketika orang-orang mulai memikirkan dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas. Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filsuf ialah Thales dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi filsuf-filsuf Yunani yang terbesar adalah Sokrates, Plato, dan Aristoteles.[1]
 
Perkembangan ilmu pengetahuan hingga seperti sekarang ini tidaklah berlangsung secara mendadak, melainkan melalui proses bertahap, dan evolutif. Di dalam banyak literatur menyebutkan bahwa periode Yunani merupakan tonggak awal berkembangnnya ilmu pengetahuan dalam sejarah peradaban umat manusia. Perkembangan ilmu ini dilatarbelakangi dengan perubahan paradigma dan pola pikir yang berkembang saat itu. Dengan paradigma ini, ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat karena menjawab persoalan disekitarnya dengan rasio dan meninggalkan kepercayaan terhadap mitologi atau tahayul yang irrasional.
Setalah kemajuan filsafat pada zaman Yunani yang begitu luar biasa, sejarah filsafat mencatat bahwa pada abad pertengahan (400-1500 M) filsafat berfungsi sebagai alat untuk pembenaran atau justifikasi ajaran agama (The philosophy as a hand maiden of theology). Sejauh filsafat bisa melayani teologi, ia bisa diterima. Namun, filsafat dianggap yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama atau gereja, ditolak dan kebebasan berfikir pun dipangkas.

Oleh sebab itu, zaman tersebut sering dinamakan Abad Gelapan Filsafat. Namun, masa kegelapan Barat itu sebenarnya merupakan masa kegemilangan umat Muslim. Pada saat itulah di Timur terutama di wilayah kekuasaan Islam terjadi perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat. Di saat Eropa pada zaman Pertengahan lebih berkutat pada isu-isu keagamaan, maka peradaban dunia Islam melakukan penterjemahan besar-besaran terhadap karya-karya filosof Yunani, dan berbagai temuan di lapangan ilmiah lainnya.[2] Maka sesungguhnya pada zaman Islam itulah filsafat begitu berkembang pesat sehingga banyak melahirkan para ilmuan-ilmuan muslim yang luar biasa pada abad itu.

Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa yang sudah berlangsung sejak abad ke-12 M itu menimbulkan gerakan kebangkitan kembali (renaisance) pusaka Yunani di Eropa pada abad ke-14 M. Berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa kali ini adalah melalui terjemahan-terjemahan Arab yang dipelajari dan kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa latin.[3]

Walaupun Islam akhirnya terusir dari negeri Spanyol dengan cara yang sangat kejam, tetapi ia telah membidani gerakan-gerakan penting di Eropa. Gerakan-gerakan itu adalah kebangkitan kembali kebudayaan Yunani klasik (renaisance) pada abad ke-14 M, rasionalisme pada abad ke-17 M, dan pencerahan (aufklarung) pada abad ke-18 M.[4] Mulai itulah ilmu pengetahuan semakin berkembangan dengan pesat hingga sekarang (zaman kontemporer).

C.  Perkembangan Filsafat Ilmu
Secara garis besar, Amsal Bakhtiar membagi periodeisasi sejarah perkembangan filsafat ilmu pengetahuan menjadi empat periode: pada zaman Yunani kuno, pada zaman Islam, pada zaman renaisans dan modern, dan pada zaman kontemporer.[5]
1. Zaman Yunani Kuno
Yunani kuno sangat identik dengan filsafat. Ketika kata Yunani disebutkan, maka yang terbesit di pikiran para peminat kajian keilmuan bisa dipastikan adalah filsafat. Padahal filsafat dalam pengertian yang sederhana sudah ada jauh sebelum para filosof klasik Yunani menekuni dan mengembangkannya. Filsafat di tangan mereka menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada generasi-generasi setelahnya. Ia ibarat pembuka pintu-pintu aneka ragam disiplin ilmu yang pengaruhnya terasa hingga sekarang.

Seiring dengan berkembangannya waktu, filsafat dijadikan sebagai landasan berfikir oleh bangsa Yunani untuk menggali ilmu pengetahuan. Karena itu, periode perkembangan filsafat Yunani merupakan entri poin untuk memasuki peradaban baru umat manusia.[6] Inilah titik awal manusia menggunakan rasio untuk meneliti dan sekaligus mempertanyakan dirinya dan alam jagad raya.

Periode setelah Socrates disebut dengan zaman keemasan kelimuan bangsa Yunani, karena pada zaman ini kajian-kajian kelimuan yang muncul adalah perpaduan antara filsafat alam dan filsafat tentang manusia. Tokoh yang sangat menonjol adalah Plato (429-347 SM), yang sekaligus murid Socrates.[7] Plato, yang hidup di awal abad ke-4 S.M., adalah seorang filsuf earliest (paling tua) yang tulisan-tulisannya masih menghiasi dunia akademisi hingga saat ini. Karyanya Timaeus merupakan karya yang sangat berpengaruh di zaman sebelumnya; dalam karya ini ia membuat garis besar suatu kosmogoni yang meliputi teori musik yang ditinjau dari sudut perimbangan dan teori-teori fisika dan fisiologi yang diterima pada saat itu.[8]

Masa keemasan kelimuan bangsa Yunani terjadi pada masa Aristoteles (384-322 SM). Ia adalah murid Plato, walaupun ia tidak sepakat dengan gurunya mengenai soal-soal mendasar. Khususnya, ia menganggap matematika sebagai suatu abstraksi dari kenyataan ilmiah. Dan ia berhasil menemukan pemecahan persoalan-persoalan besar filsafat yang dipersatukannya dalam satu sistem: logika, matematika, fisika, dan metafisika. Logika Aristoteles berdasarkan pada analisis bahasa yang disebut silogisme.[9]

2. Zaman Islam
Islam sangat menghargai ilmu, ini terlihat sejak kemunculan agama Islam itu sendiri yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, saat beliu menerima wahyu pertama dengan perintah “ iqra’ bacalah”;
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan”[10]
Dari kata iqra tersebut, secara kontekstual sesungguhnya memerintahkan kita untuk mencari hakikat kebenaran dengan membaca, mengkaji, serta meneliti

Dominasi para teolog pada masa ini mewarnai aktivitas ilmiah pergerakan ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dilihat dari semboyan yang berlaku bagi ilmu pada masa itu adalah ancillla theologiaatau abdi agama.[11] Atau dengan kata lain, kegiatan ilmiah diarahkan untuk mendukung kebenaran agama. Agama Kristen menjadi problema kefilsafatan karena mengajarkan bahwa wahyu Tuhanlah yang merupakan kebenaran sejati.[12] Inilah yang dianggap sebagai salah satu penyebab masa ini disebut dengan Abad gelap (dark age). Usaha-usaha menghidupkan kembali keilmuan hanya sesekali dilakukan oleh raja-raja besar seperti Alfred dan Charlemagne.[13]

Josep Schumpeter, misalnya dalam buku magnum opus-nya menyatakan adanyagreat gap dalam sejarah pemikiran ekonomi selama 500 tahun, yaitu masa yang dikenal sebagai dark ages. Masa kegelapan Barat itu sebenarnya merupakan masa kegemilangan umat Muslim, suatu hal yang berusaha ditutup-tutupi oleh Barat karena pemikiran ekonom Muslim pada masa inilah yang kemudian banyak dicuri oleh para ekonom Barat.[14]

Pada saat itulah di Timur terutama di wilayah kekuasaan Islam terjadi perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat. Di saat Eropa pada zaman Pertengahan lebih berkutat pada isu-isu keagamaan, maka peradaban dunia Islam melakukan penterjemahan besar-besaran terhadap karya-karya filosof Yunani, dan berbagai temuan di lapangan ilmiah lainnya.[15]

Menurut Harun Nasution, keilmuan berkembang pada zaman Islam klasik (650-1250 M). Keilmuan ini dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal seperti yang terdapat dalam al-Qur`an dan hadis. Persepsi ini bertemu dengan persepsi yang sama dari Yunani melalui filsafat dan sains Yunani yang berada di kota-kota pusat peradaban Yunani di Dunia Islam Zaman Klasik, seperti Alexandria (Mesir), Jundisyapur (Irak), Antakia (Syiria), dan Bactra (Persia).[16] W. Montgomery Watt menambahkan lebih rinci bahwa ketika Irak, Syiria, dan Mesir diduduki oleh orang Arab pada abad ketujuh, ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani dikembangkan di berbagai pusat belajar. Terdapat sebuah sekolah terkenal di Alexandria, Mesir, tetapi kemudian dipindahkan pertama kali ke Syiria, dan kemudian –pada sekitar tahun 900 M– ke Baghdad.[17]

Sekitar abad ke 6-7 Masehi obor kemajuan ilmu pengetahuan berada di pangkuan perdaban Islam. Dalam lapangan kedokteran muncul nama-nama terkenal seperti: Al-Ḥāwī karya al-Rāzī (850-923)  merupakan sebuah ensiklopedi mengenai seluruh perkembangan ilmu kedokteran sampai masanya.[18] Rhazas mengarang suatu Encyclopedia ilmu kedokteran dengan judul Continens, Ibnu Sina (980-1037) menulis buku-buku kedokteran (al-Qonun) yang menjadi standar dalam ilmu kedokteran di Eropa. Al-Khawarizmi (Algorismus atau Alghoarismus) menyusun buku Aljabar pada tahun 825 M, yang menjadi buku standar beberapa abad di Eropa. Ia juga menulis perhitungan biasa (Arithmetics), yang menjadi pembuka jalan penggunaan cara desimal di Eropa untuk menggantikan tulisan Romawi. Ibnu Rushd (1126-1198) seorang filsuf yang menterjemahkan dan mengomentari karya-karya Aristoteles. Al Idris (1100-1166) telah membuat 70 peta dari daerah yang dikenal pada masa itu untuk disampaikan kepada Raja Boger II dari kerajaan Sicilia.[19]

Dalam bidang kimia ada Jabir ibn Ḥayyan (Geber) dan al-Biruni (362-442 H/973-1050 M). Sebagian karya Jabir ibn Ḥayyan memaparkan metode-metode pengolahan berbagai zat kimia maupun metode pemurniannya. Sebagian besar kata untuk menunjukkan zat dan bejana-bejana kimia yang belakangan menjadi bahasa orang-orang Eropa berasal dari karya-karyanya. Sementara itu, al-Bīrūnī mengukur sendiri gaya berat khusus dari beberapa zat yang mencapai ketepatan tinggi.[20]

Selain disiplin-disiplin ilmu tersebut, sebagian umat Islam juga menekuni logika dan filsafat. Sebut saja al-Kindi, al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sīnā atau Avicenna (w. 1037 M), al-Ghazali (w. 1111 M), Ibn Bājah atau Avempace (w. 1138 M), Ibn Ṭufayl atau Abubacer (w. 1185 M), dan Ibn Rushd atau Averroes (w. 1198 M). Menurut Felix Klein-Franke, al-Kindī berjasa membuat filsafat dan ilmu Yunani dapat diakses dan membangun fondasi filsafat dalam Islam dari sumber-sumber yang jarang dan sulit, yang sebagian di antaranya kemudian diteruskan dan dikembangkan oleh al-Farabi. Al-Kindi sangat ingin memperkenalkan filsafat dan sains Yunani kepada sesama pemakai bahasa Arab, seperti yang sering dia tandaskan, dan menentang para teolog ortodoks yang menolak pengetahuan asing.[21]

Menurut Betrand Russell, Ibn Rushd lebih terkenal dalam filsafat Kristen daripada filsafat Islam. Dalam filsafat Islam dia sudah berakhir, dalam filsafat Kristen dia baru lahir. Pengaruhnya di Eropa sangat besar, bukan hanya terhadap para skolastik, tetapi juga pada sebagian besar pemikir-pemikir bebas non-profesional, yang menentang keabadian dan disebut Averroists. Di Kalangan filosof profesional, para pengagumnya pertama-tama adalah dari kalangan Franciscan dan di Universitas Paris. Rasionalisme Ibn Rushd inilah yang mengilhami orang Barat pada abad pertengahan dan mulai membangun kembali peradaban mereka yang sudah terpuruk berabad-abad lamanya yang terwujud dengan lahirnya zaman pencerahan atau renaisans.[22]

Pada zaman itu bangsa Arab juga menjadi pemimpin di bidang Ilmu Alam. Istilah zenith, nadir, dan azimut membuktikan hal itu. Angka yang masih dipakai sampai sekarang, yang berasal dari India telah dimasukkan ke Eropa oleh bangsa Arab. Sumbangan sarjana Islam dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bidang[23], yaitu:
  • Menerjemahkan peninggalan bangsa Yunani dan menyebarluaskan sedemikian rupa, sehingga dapat dikenal dunia Barat seperti sekarang ini;
  • Memperluas pengamatan dalam lapangan ilmu kedokteran, obat-obatan, astronomi, ilmu kimia, ilmu bumi, dan ilmu tumbuh-tumbuhan;
  • Menegaskan sistem desimal dan dasar-dasar aljabar.
3. Zaman Renaisans dan Modern
Michelet, sejarawan terkenal, adalah orang pertama yang menggunakan istilah renaisans. Para sejarawan biasanya menggunakan istilah ini untuk menunjuk berbagai periode kebangkitan intelektual, khususnya di Eropa, dan lebih khusus lagi di Italia sepanjang abad ke-15 dan ke-16. Agak sulit menentukan garis batas yang jelas antara abad pertengahan, zaman renaisans, dan zaman modern. Sementara orang menganggap bahwa zaman modern hanyalah perluasan dari zaman renaisans.[24]

Renaisans adalah periode perkembangan peradaban yang terletak di ujung atau sesudah abad kegelapan sampai muncul abad modern. Renaisans merupakan era sejarah yang penuh dengan kemajuan dan perubahan yang mengandung arti bagi perkembangan ilmu. Ciri utama renaisans yaitu humanisme, individualisme, sekulerisme, empirisisme, dan rasionalisme. Sains berkembang karena semangat dan hasil empirisisme, sementara Kristen semakin ditinggalkan karena semangat humanisme.

Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa yang sudah berlangsung sejak abad ke-12 M itu menimbulkan gerakan kebangkitan kembali (renaisance) pusaka Yunani di Eropa pada abad ke-14 M. Berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa kali ini adalah melalui terjemahan-terjemahan Arab yang dipelajari dan kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa latin.[25]

Walaupun Islam akhirnya terusir dari negeri Spanyol dengan cara yang sangat kejam, tetapi ia telah membidani gerakan-gerakan penting di Eropa. Gerakan-gerakan itu adalah kebangkitan kembali kebudayaan Yunani klasik (renaisance) pada abad ke-14 M, rasionalisme pada abad ke-17 M, dan pencerahan (aufklarung) pada abad ke-18 M.[26] Mulai itulah ilmu pengetahuan semakin berkembangan dengan pesat hingga sekarang.

4. Zaman Kontemporer
Filsafat kontemporer, yang diawali pada awal abad ke-20, ditandai oleh variasi pemikiran filsafat yang sangat beragam dan kaya. Mulai dari analisis bahasa, kebudayaan (antara lain, postmodernisme), kritik sosial, metodologi (fenomenologi, heremeutika, strukturalisme), filsafat hidup (eksistensialisme), filsafat ilmu, sampai filsafat tentang perempuan (feminisme). Tema-tema yang banyak dibahas dalam oleh para filusuf dari periode ini antara lain tentang manusia dan bahasa manusia, ilmu pengetahuan, kesetaraan gender, kuasa dan struktur yang mengungkung hidup manusia, dan isu-isu aktual yang berkaitan dengan budaya, sosial, poloitik, ekonomi, teknologi, moral, ilmu pengetahuan dan hak asasi manusia.[27]

Ciri lainnya adalah filsafat dewasa ini ditandai oleh profesionalisasi disiplin filsafat. Maksudnya, para filusuf bukan hanya profesional di bidangnya masing-masing, tetapi juga mereka telah membentuk komunitas-komunitas dan asosiasi-asosiasi profesional di bidang-bidang tertentu berdasarkan pada minat dan keahlian mereka masing-masing. Oleh sebab itu, profesionalisasi disiplin filsafat pun tampak dengan jelas dari munculnya jurnal-jurnal terkemuka dalam bidang filsafat. Ada cukup banyak jurnal filsafat, baik yang diterbitkan dalam bentuk cetak maupun elektronik (online atau e-journal).

Dengan demikian, tentunya dewasa ini sesungguhnya menuntut kita untuk mampu berpartisipasi aktif dalam menyumbangkan ide-ide dan gagasan filosofis sesuai bidang kita masing-masing. Hal tersebut dapat dilakukan melalui budaya menulis karya ilmiah untuk kemudian diterbitkan dalam berbagai jurnal ilmiah.

D.  Aliran-Aliran dalam Filsafat Ilmu
Persoalan pengetahuan yang bertalian dengan sumber-sumber  pengetahuan, dijawab oleh aliran berikut:
1. Rasionalisme
Latar belakang munculnya rasionalisme adalah keinginan untuk membebaskan diri dari segala pemikiran tradisional (skolastik), yang pernah diterima tetapi ternyata tidak mampu menangani hasil-hasil ilmu pengetahuan yang dihadapi. Apa yang ditanam Aristoteles dalam pemikiran saat itu juga masih dipengaruhi oleh khayalan-khayalan.

Secara etimologis rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris rationalism. Kata ini berakar dari kata dalam bahasa latin ratio yang berarti “akal”. Menurut A.R. lacey berdasarkan akar katanya rasionalisme adalah : sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran. Rasionalisme adalah merupakan faham atau aliran atau ajaran yang berdasarkan ratio, ide-ide yang masuk akal. Selain itu tidak ada sumber kebenaran hakiki.

Sementara itu, secara terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan. ia menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului dan bebas dari pengamatan indrawi. Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang memenuhi semua syarat pengetahuan ilmiah alat terpenting dalam memperoleh pengatahun dan mengetes pengetahuan. “Pengalaman hanya dipakai untuk mempertegas pengetahuan yang diperoleh akal”.[28]

Rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650) yang disebut sebagai bapak filsafat modern. Ia ahli dalam ilmu alam, ilmu hukum, dan ilmu kedokteran. Ia menyatakan, bahwa ilmu pengetahuan harus satu, tanpa bandinganya, harus disusun oleh satu orang, sebagai bangunan yang berdiri sendiri menurut satu metode yang umum.

Rene Descartes yang mendirikan aliran rasionalisme berpendapat, bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah akal. Hanya pengetahuan yang diperoleh lewat akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh semua ilmu pengetahuan ilmiah. Dengan akal dapat diperoleh kebenaran dengan metode deduktif, seperti yang dicontohkan dalam ilmu pasti.

Descartes menginginkan cara yang baru dalam berpikir, maka diperlikan titik tolak pemikiran yang pasti yang dapat ditemukan dalam keragu-raguan, Cogito ergo sum (saya berfikir maka saya ada). Jelasya, bertolak dari keraguan untuk mendapatkan kepastian.[29]

Tokoh-tokoh terpenting aliran rasionalisme adalah:
1)   Blaise Pascal
2)   Cristian Wolf
3)   Rene Descartes
4)   Baruch Spinoza
5)   G.W Leibnitz[30]

2. Empirisme
Empirisme secara etimologis berasal dari kata bahasa Inggris empiricism dan experience. Kata-kata ini berakar dari kata bahasa Yunani έμπειρία (empeiria) yang berarti pengalaman.[31] Sementara menurut A.R. Lacey berdasarkan akar katanya Empirisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau parsial didasarkan kepada pengalaman yang menggunakan indera.[32]
Selanjutnya secara terminologis terdapat beberapa definisi mengenai Empirisme, di antaranya: doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam pengalaman, pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami, pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal.[33] Dengan demikian, empirisme berpendapat bahwa pengetahuan tentang kebenaran yang sempurna tidak diperoleh melalui akal, melainkan di peroleh atau bersumber dari panca indera manusia, yaitu mata, lidah, telinga, kulit dan hidung. Dengan kata lain, kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan pengalaman manusia.

Aliran empirisme dibangun oleh Francis Bacon (1561-1626) dan Thomas Hobes (1588-1679), namun mengalami sistematisasi pada dua tokoh berikutnya, John Locke (1632-1704) Berkeley (1685-1753) dan David Hume (1711-1776).[34]

3. Realisme
Dengan memasuki abad ke-20, realisme muncul,khususnya di Inggris dan Amerika Utara. Real berarti yang aktual atau yang ada, kata tersebut menunjuk kepada bendabenda atau kejadian-kejadian yang sungguh-sungguh, artinya yang bukan sekadar khayalan atau apa yang ada dalam pikiran. Real menunjukkan apa yang ada. Reality adalah keadaan atau sifat benda yang real atau yang ada, yakni bertentangan dengan yang tampak. Dalam arti umum, realisme berarti kepatuhan kepada fakta, kepada apa yang terjadi, jadi bukan kepada yang diharapkan atau yang diinginkan. Akan tetapi dalam filsafat, kata realisme dipakai dalam arti yang lebih teknis.

Dalam arti filsafat yang sempit, realisme berarti anggapan bahwa obyek indera kita adalah real, benda-benda ada, adanya itu terlepas dari kenyataan bahwa benda itu kita ketahui, atau kita persepsikan atau ada hubungannya dengan pikiran kita. Bagi kelompok realis, alam itu, dan satusatunya hal yang dapat kita lakukan adalah: menjalin hubungan yang baik dengannya. Kelompok realis berusaha untuk melakukan hal ini, bukan untuk menafsirkannya menurut keinginan atau kepercayaan yang belum dicoba kebenarannya. Seorang realis bangsa Inggris, John Macmurray mengatakan:
Kita tidak bisa melpaskan diri dari fakta bahwa terdapat perbedaan antara benda dan ide. Bagi common sense biasa, ide adalah ide tentang sesuatu benda, suatu fikiran dalam akal kita yang menunjuk suatu benda. Dalam hal ini benda dalah realitas dan ide adalah 'bagaimana benda itu nampak pada kita'. Oleh karena itu, maka fikiran kita harus menyesuaikan diri dengan benda-benda, jika mau menjadi benar, yakni jika kita ingin agar ide kita menjadi benar, jika ide kita cocok dengan bendanya, maka ide itu salah dan tidak berfaedah. Benda tidak menyesuaikan dengan ide kita tentang benda tersebut. Kita harus mengganti ide-ide kita dan terus selalu menggantinya sampai kita mendapatkan ide yang benar. Cara berpikir common sense semacam itu adalah cara yang realis; cara tersebut adalah realis karena ia menjadikan 'benda' adalah bukan 'ide' sebagai ukuran kebenaran, pusat arti. Realisme menjadikan benda itu dari real dan ide itu penampakkan benda yang benar atau yang keliru.[35]
Maka dengan demikian realisme adalah aliran yang menyatakan bahwa objek-objek yang diketahui adalah nyata dalam dirinya dan tidak bergantung pada yang mengetahui, atau pun pikiran. Dunia ada sebelum dan sesudah pikiran.
4. Kritisisme
Secara harfiah, kata kritik berarti pemisahan. Jadi filsafatnya dimaksud sebagai penyadaran atas kemampuan-kemampuan rasio secara obyektif dan menentukan batas-batas kemampuannya untuk memberi tempat iman dan kepercayaan.[36]
Tokoh aliran kritisisme adalah Imanuel Kant. Filsafat Kant merupakan titik tolak periode baru bagi filsafat barat. Ia menyimpulkan dan mengatasi aliran rasionalisme dan empirisme.[37] Pada awalnya, Kant mengikuti rasionalisme, tetapi kemudian tepengaruh oleh empirisnya (Hume). Walaupun demikian, Kant tidak begitu mudah menerimanya karena ia mengetahui bahwa empirisme terkadang skeptisisme. Untuk itu, ia tetap mengakui kebenaran ilmu, dan dengan akal manusia akan dapat mencapai kebenaran.[38]

Akhirnya Kant mengakui peranan akal dan keharusan empiri, kemudian dicobanya mengadakan sintesis. Walaupun pengetahuan bersumber dari akal (rasionalisme), tetapi adanya pengertian timbul dati benda (empirisme). Ibarat burung terbang harus mempunyai sayap (rasio) dan udara (empiri). Jadi, metode berpikirnya disebut kritis. Walaupun ia mendasarkan diri pada nilai yang tinggi dari akal, tetapi ia tidak mengingkari adanya persoalan-persoalan yang melampaui akal. Sehingga akal mengenal batas-batasnya.[39]

Adapun ciri-ciri Kritisisme adalah adalah sebagai berikut:
  • Menganggap obyek pengenalan berpusat pada subyek dan bukan pada obyek
  • Manegaskan keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau hakikat sesuatu, rasio hanya mampu menjangkau gejalanya atau fenomenanya saja.
  • Menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh atas perpaduan antara peranan unsur apriori yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan waktu dan peranan unsure aposteriori yang berasal dari pengalaman yang berupa materi.[40]
Maka dapat disimpulkan bahwa kritisisme adalah aliran yang berusaha menjawab persoalan pengetahuan dengan tokohnya Imanuel Kant yang pemikirannya bertolak pada ruang dan waktu sebagai dua bentuk pengamatan. Akal menerima bahan-bahan pengetahuan dari empiri (indera dan pengalaman) dan mengaturnya dalam bentuk pengamatan yakni ruang dan waktu. Pengamatan merupakan permulaan pegetahuan, sedangkan pengolahan oleh akal merupakan pembentuknya.

5. Idalisme
Idealime adalah sebuah istilah yang digunakan pertama kali dalam dunia filsafat oleh Leibniz pada awal abad 18. ia menerapkan istilah ini pada pemikiran Plato, seraya memperlawankan dengan materialisme. Istilah Idealisme adalah aliran filsafat yang memandang mental dan ideasional sebagai kunci ke hakikat realitas.[41] selain itu, idealisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan jiwa dan roh. Istilah idealisme diambil dari kata idea yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Pandangan ini telah dimiliki oleh plato dan pada filsafat modern dipelopori oleh J.G. Fichte, Sckelling, dan Hegel.[42]

Pokok utama yang diajukan oleh idealisme adalah jiwa mempunyai kedudukan yang utama dalam alam semesta. Sebenarnya, idealisme tidak mengingkari materi. Namun, materi adalah suatu gagasan yang tidak jelas dan bukan hakikat. Sebab, seseorang akan memikirkan materi dalam hakikatnya yang terdalam, dia harus memikirkan roh atau akal. Jika seseorang ingin mengetahui apakah sesungguhnya materi itu, dia harus meneliti apakah pikiran itu, apakah nilai itu, dan apakah akal budi itu, bukannya apakah materi itu.

Paham ini beranggapan bahwa jiwa adalah kenyataan yang sebenarnya. Manusia ada karena ada unsur yang tidak terlihat yang mengandung sikap dan tindakan manusia. Manusia lebih dipandang sebagai makhluk kejiwaan/kerohanian. Untuk menjadi manusia maka peralatan yang digunakannya bukan semata-mata peralatan jasmaniah yang mencakup hanya peralatan panca indera, tetapi juga peralatan rohaniah yang mencakup akal dan budi. Justru akal dan budilah yang menentukan kualitas manusia.[43]

6. Positivisme
Pendiri dan sekaligus tokoh terpenting dari aliran filsafat positivisme adalah Aguste Comte. Aliran positivisme berpendirian bahwa kepercayaan-kepercayaan yang dogmatis harus digantikan dengan pengetahuan faktawi. Apa pun yang di luar dunia pengalaman tidak perlu diperhatikan. Manusia harus menaruh perhatian pada dunia ini. Beberapa tokoh diantaranya mengatakan bahwa pernyataan yang mengandung arti adalah pernyataan yang dapat diverifikasi secara empiris. Pengalaman yang tidak berdasar dan tidak dapat diverifikasi dianggap tidak bermakna atau bukan merupakan pengetahuan.[44]

Ide-ide pokok positivisme, antara lain :
  • 1)   Bahwa ilmu pengetahuan merupakan jenis pengetahuan yang paling tinggi tingkatannya, dan karenanya kajian filsafat harus juga bersifat ilmiah (that science is the highest form of knowledge and that philosophy thus must be scientific).
  • 2)   Bahwa hanya ada satu jenis metode ilmiah yang berlaku secara umum, untuk segala bidang atau disiplin ilmu, yakni metode penelitian ilmiah yang lazim digunakan dalam ilmu alam.
  • 3)   Bahwa pandangan-pandangan metafisik tidak dapat diterima sebagai ilmu, tetapi "sekadar" merupakan pseudoscientific.[45]
Jadi, kebenaran yang dianut positivisme dalam mencari kebenaran adalah teori korespondensi. Teori korespondensi menyebutkan bahwa suatu pernyataan adalah benar jika terdapat fakta-fakta empiris yang mendukung pernyataan tersebut. Atau dengan kata lain, suatu pernyataan dianggap benar apabila materi yang terkandung dalam pernyataan tersebut bersesuaian (korespodensi) dengan obyek faktual yang ditunjuk oleh pernyataan tersebut.[46]

7. Pragmatisme
Pragmatisme diambil dari kata Pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan. pragmatisme mula-mula diperkenalkan oleh Charles Sanders Peirce (1839-1914). Sebenarnya istilah pragmatisme lebih banyak berarti sebagai metode untuk memperjelas suatu konsep ketimbang sebagai suatu doktrin kefilsafatan.[47] Sedangkan, Menurut Kamus Ilmiah Populer, Pragmatisme adalah aliran filsafat yang menekankan pengamatan penyelidikan dengan eksperimen (tindak percobaan), serta kebenaran yang mempunyai akibat – akibat yang memuaskan. Sedangkan, definisi Pragmatisme lainnya adalah hal mempergunakan segala sesuatu secara berguna.[48]

Aliran pragmatisme pertama kali tumbuh di Amerika sekitar abad 19 hingga awal 20. Aliran ini melahirkan beberapa nama yang cukup berpengaruh mulai Charles Sanders Pierce (1839-1914), William James (1842-1910), John Dewey, dan seorang pemikir yang juga cukup menonjol bernama George Herbert Mead (1863-1931). Charles S. Pierce-lah yang membiasakan istilah ini dengan ungkapannya, “Tentukan apa akibatnya, apakah dapat dipahami secara praktis atau tidak. Kita akan mendapat pengertian tentang objek itu, kemudian konsep kita tentang akibat itu, itulah keseluruhan konsep objek tersebut.” Ia juga menambahkan, untuk mengukur kebenaran suatu konsep, kita harus mempertimbangkan apa konsekuensi logis penerapan konsep tersebut. Bila suatu konsep yang dipraktekkan tidak mempunyai akibat apa-apa, maka konsep itu tidak mempunyai pengertian apa-apa bagi kita. Selain itu, menurut John Dewey, kegunaan atau kemanfaatan untuk umum hendaknya menjadi ukuran, sedangkan daya untuk mengetahui dan daya untuk berpikir merupakan sarana.[49]Dengan demikian aliran ini tidak mempersoalkan apa hakekat pengetahuan melainkan menanyakan apa guna pengetahuan tersebut.

E.  Kesimpulan
Perkembangan ilmu pengetahuan hingga seperti sekarang ini tidaklah berlangsung secara mendadak, melainkan melalui proses bertahap, dan evolutif. Di dalam banyak literatur menyebutkan bahwa periode Yunani merupakan tonggak awal berkembangnnya ilmu pengetahuan dalam sejarah peradaban umat manusia. Perkembangan ilmu ini dilatarbelakangi dengan perubahan paradigma dan pola pikir yang berkembang saat itu. Dengan paradigma tersebut, ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat hingga saat ini.

Secara garis besar, periodeisasi sejarah perkembangan filsafat ilmu pengetahuan menjadi empat periode: pada zaman Yunani kuno, pada zaman Islam, pada zaman renaisans dan modern, dan pada zaman kontemporer.
Adapun aliran-aliran dalam filsafat ilmu terbagi ke dalam:
1.    Rasionalisme
2.    Empirisme
3.    Realisme
4.    Kritisisme
5.    Idealisme
6.    Positivisme
7.    Pragmatisme

F.   Daftar Pustaka
Ahmad Tafsir. 1990. Filsafat Umum Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra. Bandung: Remaja Rosdakarya.
___________. 2000. Filsafat Umum. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Amsal Bakhtiar. 2013. Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Anton Baker. 1986. Metode-metode Filsafat. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Asoro Achmadi. 2008. Filsafat Umum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Atang Abdul Hakim. 2008. Filsafat Umum dari Metologi sampai Teofiologi. Bandung: Pustaka Setia
Delfgaauw, Bernard. 1992. Sejarah Singkat Fisafat Barat.Yoyakarta: Tiara Wacana.
Felix Klein-Franke. 2003. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Vol. 1, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman. Bandung: Mizan.
Harold H.Titus, dkk. Tth. Living in Philosophy. Jakarta: Bulan Bintang
Harun Nasution. 1998. Islam Rasional. Bandung: Mizan.
Jerome R. Ravertz. 2004. Filsafat Ilmu : Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan. Cetakan Ke-IV. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
K. Bertens. 1986. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
Lorens Bagus. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mohammad Muslih. 2004. Filsafat Ilmu Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar.
Rasjidi. 1997. Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir. 2002. Filsafat Ilmu. Cet Ke-II.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Russell, Betrand. 2002. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga sekarang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara
_______. 2007. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. 1996. Filsafat Ilmu. Yogykarta: Liberty.
W. Montgomery Watt. 1997. Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Zainal Abidin. 2012. Pengantar Filsafat Barat. Jakarta: Rajawali Pers


[1] Wikipedia.org/wiki/Filsafat diakses tanggal 21 Oktober 2014
[2] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Cet Ke-II, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 128
[3] K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1986), hlm. 32.
[4] K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat
[5] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 21-67.
[6] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hlm 22
[7] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hlm 30
[8] Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu : Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan, cetakan Ke-IV (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hlm 10
[9] Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu, hlm. 30
[10] Al-Qur’an Surat Al-Alaq ayat 1
[11] Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2007), hlm. 85
[12] Surajiyo, Filsafat Ilmu
[13] Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu, hlm. 16
[14] Baca lebih lanjut Joseph A. Schumpeter, A History of Economic Analysis, (New york : Oxford University Press, 1954), dan Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami, Edisi Ketiga. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm 10-11
[15] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu,Cet Ke-II (Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 2002), hlm. 128
[16] Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1998), hlm.7
[17] W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 44-45
[18] Pembahasan lebih detil tentang sosok, karya, dan pengaruh Abū Bakar Muḥammad ibn Zakariyyā al-Rāzī bisa dibaca dalam: Lenn E. Goodman, “Muḥammad ibn Zakariyyā al-Rāzī”, dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Vol. 1, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 243-265.
[19] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, (Yogykarta : Liberty, 1996), hlm 42.
[20] W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia, hlm. 60-61.
[21] Felix Klein-Franke, “Al-Kindī”, dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Vol. 1, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 209-210
[22] Russell, Betrand, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga sekarang. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm 567.
[23] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, hlm. 42-43
[24] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hlm. 50
[25] K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, hlm. 32.
[26] K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat
[27] Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 123-124
[28] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 127-128
[29] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, hlm. 137-141
[30] Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara,2005), hlm. 66
[31]Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2004), hlm. 52
[32]  http://id.wikipedia.org/wiki/Empirisme diakses pada tanggal 20 oktober 2014
[33] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu.
[34] Mohammad  Muslih, Filsafat Ilmu, hlm 53.
[35] Harold H.Titus, dkk, Living in Philosophy. (Jakarta: Bulan Bintang), hlm. 315-329
[36] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra, (Bandung: Rosda, 1990), hlm. 157
[37] Anton Baker, Metode-Metode Filsafat, (Jakarta Ghalia Indonesia,1986), hlm. 88
[38] Asoro Achmadi, Filsafat Umum, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 140
[39] Asoro Achmadi, Filsafat Umum
[40] Atang Abdul Hakim, Filsafat Umum dari Metologi sampai Teofiologi, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 283
[41] Lorens Bagus., Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005)
[42] Delfgaauw, Bernard, Sejarah Singkat Fisafat Barat, (Yoyakarta: Tiara Wacana, 1992), hlm. 59
[43] Rasjidi, Filsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hlm. 40.
[44] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hlm. 154
[45] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hlm. 155-156
[46] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu
[47] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati sejak Thales Sampai Capra, hlm.190
[48] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati sejak Thales Sampai Capra
[49] wikipedia.org/wiki/Pragmatisme, diakses tanggal 20 Oktober 2014