Model Pendidikan Jarak Jauh - Singgle Mode

Pendidikan terbuka dan jarak jauh (PTJJ) merupakan kajian bidang pendidikan yang berkembnag pesat dan perwujudannya beragam dalam beberapa moel.  Model-model PTJJ berkembanng karena factor-faktor yang terkait dengan sejarah, filosofi, politik dan kebijakan pemerintah, geografi dan demografi, ekonomi serta landasan teknologi (Zuhairi, 1998).   Sekalipun secara rinci ada banyak ragam model, dalam garis besar PTJJ dapat dikelompokkan menjadi tiga model, yaitu single mode, dual mode, dan konsorsium (Pery dan Rumble, 1987; Holmberg, 1995; Curran, 1992).  Kali ini kita membahas tentang singgle mode. Istilah single mode di-Indonesiakan menjadi ‘model modus tunggal’ namun dalam tulisan ini istilah asli dalam bahasa Inggris tetap digunakan untuk memudahkan konsepsi dan asosiasi kita.  

Model single mode 
Model single mode dipelopori oleh kisah sukses The United Kingdom Open University (UKOU), yang mulai beroperasi pada tahun 1971.  Model ini kemudian dianut oleh banyak negara termasuk Negara-negara berkembang dengan jumlah penduduk besar seperti Indonesia yang mendirikan Universitas Terbuka pada tahun 1984.  Model single mode memadukan pemanfaatan bahan cetak dan media siaran dalam pembelajaran jarak jauh. Model ini dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa pendekatan universitas konvensional dalam menerapkan PTJJ tidak memadai. Kebutuham dan syarat yang dikehendaki siswa jarak jauh akan dapat dilayani secara lebih baik jikalau suatu lembaga dikembangkan hanya untuk menampung dan memberikan pelayanan kepada siswa jarak jauh saja (Rumble, 1986).  Model ini telah berhasil dikembangkan di berbagai sektor pendidikan dengan didirikannya lembaga seperti politeknik terbuka, sekolah menengah pertama terbuka, lembaga pendidikan swasta komersial terbuka, dan universitas terbuka.

Model single mode  memiliki karakteristik umum sebagai berikut. Kurikulum dirancang berdasarkan sistem satuan kredit semester dan bahan ajar moduler.  Pengembangan dan produksi bahan ajar dilakukan secara tersentralisasi.  Bahan ajar dirancang sesuai dengan kebutuhan orang dewasa yang sudah bekerja dan belajar mandiri secara jarak jauh.  Pertemuan tatap muka dipergunakan untuk membantu penguasaan bahan ajar.  Studi Guiton (1992) lebih lanjut menunjukkan bahwa model ini umumnya memiliki keterbatasan dalam ekonomi skala  dan profil akademik.  Pendekatan course- team  dipergunakan dalam pengembangan bahan ajar dan multimedia dimanfaatkan secara terpadu dalam penyampaian bahan ajar.  Model ini memilik keterganatungan kepada lembaaga lain untukj penyediaan pusat sumber belajar siswa dan mempekerjakan tutor paruh waktu.  Bagi siswa ada keterikatan untu menjadi siswa jarak jauh saja, tanpa ada keluwesan untuk memilih metode belajar lain.

Pada model single mode, pembelajaran, pengujian dan akreditasi merupakan fungsi terpadu. Lembaga melayani siswa jarak jauh saja, sehingga staf akademik tidak mengalami konflik loyalitas terhadap siswa tatap muka dan jarak jauh.  Iklim semacam ini menciptakan motivasi yang sangat kuat di antara staf untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas metode PTJJ, bebas dari hambatan pembelajaran konvensional.  Lembaga lebih leluasa dalam merancang program untuk kelompok targer tertentu, dan melakukan ekplorasi terhadap potensi maksimum metode PTJJ.  Ada lebih banyak keleluasaan bagi lembaga dalam memilih metode pembelajran, media, kurikulum, struktur program, prosedur ujian, dan kebijakan akreditasi (Kaye, 1981).

Namun demikian tetap ada keterbatasan dalam keleluasaan yang dimiliki model single mode.   Lembaga semacam ini masih memiliki masalah kredibilitas dan akseptabilitas di kalangan masyarakat karena penyimpangannya dari sistem pendidikan tradisional. Misalnya masyarakat masih cenderung memandang remeh lulusan universitas terbuka dibandingkan lulusan universitas konvensional atau the Ivy League yang sudah mapan. Di Indonesia, mahasiswa Universitas Terbuka (UT) yang baru lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) adalah mereka yang tidak diterima di perguruan tinggi negeri bergengsi atau tidak mampu menjangkau perguruan tinggi swasta yang mahal. Masyarakat umumnya cenderung mengira bahwa secara akademik mahasiswa UT adalah mahasiswa kelas dua.

Kritikan pun dilontarkan terhadap gagasan “keterbukaan’ yang mengandung paradox dan kontradiksi dalam lembaga PTJJ model ini.  Gagasan ‘keterbukaan’ sebagai mana diterapkan pada sistem universitas terbuka berlaku sekaligus ‘keterbukaan’ dan ketertutupan’ (openness and closure), artinya kerterbukaan dalam satu aspek mengandung kontradiksi ketertutupan pada aspek lainnya (Harris, 1987).  Dampak prosedur PTJJ pada sebuah universitas ‘terbuka’ mengandung kecenderungan ‘tertutup’. Sekalipun siswa PTJJ terbuka untuk mendaftarkan diri pada waktu kapan saja, kesempatan mereka masih relatif ‘tertutup’, misalnya mereka  harus mengikuti ujian, mendengarkan siaran radio, menonton siaran program televisi pendidikan, mengikuti ujian sesuai jadwal pada waktu yang telah ditentukan oleh lembaga yang bersangkutan.  Lebih jauh lagi, seseorang yang telah mendapatkan gelar dari suatu universitas terbuka membuka peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, dan menutup peluang tersebut bagi yang tidak memiliki gelar.

Model single mode  relatif mahal untuk dikembangkan dan menghendaki jumlah siswa besar agar secara ekonomi layak. Model in memerlukan nilai investasi awal yang besar untuk prasarana dan pengembangan bahan ajar.   Namun biaya ini dapat dirata-rata selama beberapa tahun sehingga biaya setiap siswa lebih murah dibandingkan dengan universitas konvensional, asalkan jumlah siswa cukup besar.  Pada dasarnya program PTJJ lebih murah dari pada program pendidikan konvensional. Namun model single mode memiliki tantangan ekonomi dan manajemen pada lembaga dengan  jumlah siswa lebih kecil sehingga diperlukan sistem manajemen dan admistrasi yang ketat.
Sumber: Materi Program MOOCs Pendidikan Jarak Jauh 

Zuhairi, A.. (2002). Model-model pendidikan  terbuka dan jarak jauh. Dalam Belawati, T (Ed.). Pendidikan terbuka dan jarak jauh: Didedikasikan kepada Dr. Setijadi, M.A. 45-59.