Kodifikasi Al Qur'an Utsman bin Affan

Mushaf yang disusun oleh Zaid bin Tsabit –atas perintah Khalifah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu– disimpan oleh Hafshah radhiyallahu ‘anha semenjak kekhalifahan sahabat Utsman radhiyallahu ‘anhu. Di bawah kepemimpinan Utsman, kebijakan perluasan wilayah yang dilakukan Sahabat Umar dilanjutkan. Dengan meluasnya penaklukkan wilayah yang terjadi pada periode 'Utsman, umat Islam pun mulai tersebar di wilayah-wilayah taklukan, tak terkecuali para sahabat. Pada masa 'Utsman ini, para sahabat telah menyebar ke berbagai Negara. Mereka membawa serta pengetahuan tentang bacaan Al-Quran yang mereka dengar langsung dari Nabi Saw. Pengetahuan para sahabat tentang bacaan Al-Quran tidak sama antara yang satu dengan yang lainnya. Terkadang, sebagian orang pernah mendengar suatu bacaan dari yang lainnya, yang belum pernah didengar sebelumnya. Mereka pun saling menyalahkan satu sama lainnya. Hal ini terus berlangsung dan bertambah runyam. Bahkan sampai ke taraf saling mengkafirkan satu sama lainnya hanya karena perbedaan bacaan Al-Quran.

Kejadian ini pun mencapai klimaksnya pada saat penduduk Syam dan Irak bergabung dalam satu pasukan saat perang di daerah Armenia dan Azerbaijan yang terjadi pada tahun 25 H.. Di antara pasukan Islam dalam peperangan tersebut terdapat Hudzaifah bin al-Yaman (w. 36 H.). Hudzaifah menyaksikan banyaknya perbedaan bacaan Al-Quran yang terjadi di kalangan umat Islam dan mendengar mereka saling menyalahkan dan mengkafirkan satu sama lainnya. Hudzaifah menganggap kenyataan tersebut sangat berbahaya hingga akhirnya dia melaporkan hal ini kepada 'Utsman Ibn 'Affân. Hudzaifah berkata kepada 'Utsman, "Temukanlah (persatukanlah) umat Islam sebelum mereka berbeda-beda (terpecah belah) dalam kitabnya yang merupakan dasar syariat dan pokok agama sebagaimana perbedaan yang terjadi pada orang-orang Yahudi dan Nashrani."

Kemudian dengan ketajaman nalar yang dimilikinya, Sahabat Utsman melihat perbedaan ini memiliki potensi keburukan sangat besar yang tidak akan sanggup dihadapi orang-orang Islam di masa yang akan datang. Maka Beliau mengumpulkan para sahabat untuk mencari solusi persoalan tersebut. Akhirnya para sahabat sepakat untuk menyalin lembaran lembaran Al-Quran (al-shuhuf ) pertama yang dikumpulkan oleh Zaid bin Tsabit pada periode Abu Bakar ke dalam beberapa mushaf kemudian dikirim ke beberapa daerah guna menjadi rujukan bagi umat Islam ketika terjadi perbedaan. Maka Utsman mengutus seseorang untuk menemui Hafshah, agar Hafshah berkenan mengirimkan mushaf yang ada padanya untuk kemudian ditulis (disalin) kembali. Setelah itu selesai maka naskah aslinya akan dikembalikan kepada Hafshah. Utsman juga memerintahkan para sahabat untuk membakar mushaf lainnya. Dengan demikian Sahabat Utsman sangat berharap perbedaan mengenai Kitab Suci tidak terjadi lagi.

Perbedaan antara penulisan mushaf yang dilakukan Abu Bakar dengan yang dilakukan Utsman adalah apa yang dilakukan Abu Bakar disebabkan kekhawatiran kalau Al-Qur'an itu hilang dengan hilangnya (matinya) para penghafal Al Qur'an, karena (pada saat itu) Al-Qur'an belum dihimpun dalam satu tempat. Maka Abu Bakar menghimpunnya dalam lembaran lembaran, dengan urutan ayat-ayat dalam setiap surat-suratnya sebagaimana yang beliau dapatkan dari Nabi saw.

Adapun penulisan mushaf yang dilakukan oleh Utsman dikarenakan banyaknya perbedaan (di tengah-tengah kaum muslimin) tentang wujuhul qira'ah (berbagai cara membaca Al-Qur'an), sehingga mereka membacanya dengan qira'ah dan istilah mereka masing-masing. Hal ini dapat menyebabkan sebahagian mereka menyalahkan sebahagian yang lainnya, sehingga dikhawatirkan terjadi kekacauan di antara mereka. Maka Utsman menulis kembali lembaran-lembaran itu dalam satu mushaf dengan urutan surat-suratnya dan menyatukan dari berbagai bahasa yang ada menjadi satu bahasa yaitu bahasa Quraisy, dengan alasan bahwa Al-Qur'an diturunkan dengan bahasa Quraisy, meskipun telah ditoleransi dan diperluas dengan bahasa selain bahasa Quraisy. Hal itu memang diperbolehkan untuk menghilangkan kesulitan dan keberatan pada awalnya, tetapi Utsman melihat bahwa kondisi seperti itu telah berakhir, sehingga cukup dengan satu bahasa.

Tugas penyalinan lembaran-lembaran Al-Quran itu diserahkan kepada empat orang yaitu Zaid bin Tsabit (w. 45 H.) dari kalangan Anshar, dan tiga orang lainnya dari suku Quraisy, yakni 'Abdullah bin al-Zubair (w. 75 H.), Sa'id bin al-'Ash (w. 58 H.), dan 'Abd al-Rahman bin al-Harits bin Hisyam (w. 43 H.). Dalam sebagian riwayat lain disebutkan bahwa yang bertugas menyalin mushaf-mushaf ada dua belas orang Muhajirin dan Anshar, di antaranya Sahabat Ubay bin Ka’ab.

Utsman memilih Zaid bin Tsabit sebagai ketua komisi pengumpulan Al-Quran dikarenakan melihat peran Zaid saat penulisan Al-Quran di masa Abu Bakar. Sedangkan pemilihan tiga orang lainnya yang berasal dari suku Quraisy adalah untuk menjaga kesejatian dialek Quraisy dalam penyalinan mushaf.

Dalam penyalinan mashahif, para sahabat tidak menulis sesuatu apapun kecuali setelah ditunjukkan kepada semua sahabat dan benar-benar diteliti bahwa apa yang akan ditulis itu benar-benar Al-Quran yang dibaca oleh Nabi Saw. dalam setoran terakhirnya dengan Malaikat Jibril serta bacaannya tidak dihapus (mansukh). Sedangkan bacaan yang tidak memenuhi kriteria-kriteria tersebut tidak ditulis, Utsman berpesan kepada tiga orang anggota komisi yang berasal dan kabilah Quraisy: "Jika kalian dan Zaid bin Tsabit berbeda mengenai Al-Quran maka tulislah Al- Quran dengan menggunakan bahasa Quraisy, Al-Quran turun dengan bahasa mereka.”

Kemudian para sahabat pengumpul Al-Quran pun menjalankan perintah Utsmän. Ketika terjadi perbedaan antara tiga orang Quraisy dengan Zaid bin Tsabit mengenai penulisan kata التَّابُوت , apakah ditulis dengan huruf " (التَّابُوت) sebagaimana pendapat tiga orang Quraisy, atau dengan ha (التَّابُوه) seperti pendapat Zaid bin Tsabit. Ternyata setelah dilaporkan kepada 'Utsman bin 'Affän, beliau memerintahkan agar kata tersebut ditulis dengan ta maftuhah (التَّابُوت) yang sesuai dengan bahasa Quraisy.

Mashahif yang ditulis oleh komisi pengumpul Al-Quran di zaman Utsman bin Affan berjumlah banyak dan tiap mushaf ditulis berbeda-beda terutama dalam hal pembuangan huruf, penetapan, penambahan, pengurangan dan sebagainya.

Tujuan dari kebijakan tersebut adalah agar mushaf tersebut tetap eksis mengandung sab'ah al-ahruf sebagaimana pada saat diturunkan. Mashahif tersebut sepi dari titik (al-Naqth) dan harakat atau tanda bunyi (al-Syakl) karena keduanya baru muncul belakangan. Kendati demikian, Al-Quran yang tidak bertitik dan berharakat inilah yang sangar membantu mewujudkan tujuan eksisnya sab'ah al- ahruf. Kalimat-kalimat yang tidak bertitik dan berharakat pun membuat Al-Quran bisa dibaca dengan berbagai macam bacaan (qira`ât).

Kalimat-kalimat yang multi baca dan huruf-hurufnya tidak bertitik dan berharakat di semua mushaf ini ditulis dengan satu tulisan (rasm wahid).

Setelah Zaid bin Tsabit dan kawan-kawan menyelesaikan jam’ al Qur'an, Utsman bin Affan kemudian mengembalikan shuhuf peninggalan Abu Bakar kepada Hafshah. Sedangkan mashahif hasil kerja Zaid disebar ke beberapa daerah sembari memerintahkan agar shuhuf-shuhuf yang lainnya dibakar. Pembakaran ini semata- mata dilakukan untuk menghilangkan fitnah dan pertikaian yang terjadi di kalangan umat Islam.

Menurut pendapat mayoritas ulama, mushaf tersebut berjumlah enam buah dan dikirim ke Makkah, Bashrah, Kufah, Syam, Madinah dan satu mushaf disimpan di sisi Utsman sendiri. Mushaf yang terakhir ini kemudian dinamakan Mushhaf al- Imam. Sedangkan menurut pendapat minoritas, mashahif yang dibuat tersebut berjumlah delapan dan dikirim ke delapan tempat, yaitu enam daerah yang telah disebutkan, ditambah Bahrain dan Yaman. Sementara menurut al-Suyuthi dan Ibn Hajar, mushaf yang dikirim berjumlah lima. Akan tetapi pendapat ini dikomentari oleh al-Zarqani bahwa hitungan tersebut tidak menghitung mushaf yang disimpan 'Utsman sendiri, sehingga tidak berbeda dengan pendapat mayoritas.

Bersamaan dengan pengiriman mushaf-mushaf tersebut, 'Utsman juga mengirimkan salah seorang ahli bacaan pilihan (Imam al-Qura’) yang bacaannya seragam atau cocok dengan tulisan mushaf yang dikirimkan. Utsman memerintahkan Zaid bin Tsábit untuk membacakan mushaf yang dikirimkan ke Madinah, mengutus Abdullah bin al-Saib bersama mushaf Makkah, al-Mughirah bin Syihab beserta mushaf Syam, Abú 'Abd al-Rahman al-Sulamî bersama mushaf Küfah, dan 'Amir bin Qais bersama mushaf Bashrah. Kemudian para tabiin belajar dari sahabat secara langsung dari mulut ke mulut (talaqqi), lalu penduduk setiap kota membaca dengan bacaan yang sesuai dengan mushaf daerahnya masing masing. Mereka belajar dari para sahabat, sahabat belajar dari Nabi Saw. Dalam hal ini tabiin menempati posisi sebagaimana sahabat yang ber talaqqi kepada Nabi Saw.. Oleh karenanya, di kemudian hari para tabiin menjadi pangkal mata rantai sanad bacaan."

Sumber Bacaan: 

  •  Tim RADEN 2011, Al-Quran Kita: Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamullah
  •  Abdul Fattah Qadhi, Tarikh Mushaf Asy-Syarif
  •  Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulumil Quran, jilid 1
  •  Muhammad Salim Muhaisin, Tarikh al-Quran al-Karim,
  • Abd al-‘Azhim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur'an, vol. 1,
  • Tim RADEN 2011, Al-Quran Kita: Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamullah,  

 Last Modified: 27/3/2024