Kodifikasi Al-Qur'an Pasca Utsman Hingga Sekarang

Pada mulanya mushaf yangg telah disebar oleh Usman bin Affan tidak memiliki titik dan tanda baca. Hal ini karena saat itu yg menjadi pegangan bukan membaca Al Qur’an dari mushaf, akan tetapi langsung berhadapan dengan seorang guru (talaqqi) di samping itu ada sahabat mulia Abdullah bin  Mas’ud mengatakan: “Sepikanlah Al Qur’an dan janganlah mencampurkannya dgn sesuatu yg lain”

Setelah meluasnya wilayah kekuasaan Islam dan banyaknya orang non Arab yang masuk Islam, pembacaan Al Qur’an pun mengalami masalah kembali yaitu orang-orang non Arab kesulitan ketika membacanya yg tidak memiliki titik dan tanda bunyi karena masalah ini sangatlah penting maka Khalifah Abdul Malik bin Marwan pun memerintahkan Al-Hajjaj untuk mengatasi masalah ini. Al Hajjaj pun merespon perintah Khalifah dengan menunjuk dua orang yaitu Nashr bin ‘Ashim Al Laitsi dan Yahya bin Ya’mar, yang mana keduanya murid dari Abu Aswad Ad Du’ali. Mereka berdua meletakan satu sampai tiga titik pada huruf-huruf yg memiliki keserupaan dan langkah ini sangat membantu umat Islam dalam pembacaan Al- Qur’an.

Menurut riwayat lain, ketika Abu Aswad Ad Du’ali mendengar seseorang yang sedang membaca QS At Taubah ayat 3 yang berbunyi :

أَنَّ ٱللَّهَ بَرِىٓءٌ۬ مِّنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ‌ۙ وَرَسُولُهُ

Orang tersebut membaca kasrah pada lam dari kata “Wa Rasuluh” yang seharusnya dibaca dhommah tapi dibaca Wa rasulih maka Abu Aswad Ad Du’ali kaget dan berkata, “Maha Mulia Allah dari terbebasnya tanggungan Rasul-Nya” dan kemudian beliau bergegas menghadap Ziyad yang mana ketika itu beliau memegang pemerintahan di kota Bashrah (44-53 H) dan berkata padanya “saya akan memenuhi permohonanmu” sebelumnya Ziyad pernah meminta Abu Aswad Ad Du’ali untuk memberi tanda baca pada mushaf akan tetapi beliau tidak terlalu meresponnya hingga terjadilah kejadian salah baca yg langsung didengarnya yang membuatnya takut. Sehingga beliau membuat tanda baca fathah dengan satu titik di atas huruf, tanda baca kasrah dengan satu titik di bawah huruf, tanda baca dhammah berupa satu titik di antara bagian-bagian huruf dan tanda baca sukun berupa dua titik untuk memudahkan umat ketika membacanya.

Akan tetapi pemberian tanda baca pada Al Qur’an pun menuai pro kontra, perbedaan pendapat antara ulama. Di antara ulama yang tidak menyetujuinya adalah Al-Nakho’i dan As-Syi’bi mereka berpegang dengan ucapan dari sahabat mulia Abdullah bin Mas’ud yang melarang penambahan sesuatu apapun dalam Al-Qur’an. Malik Imam  menyetujuinya sedangkan An-Nawawy mengatakan bahwa perbuatan memberikan titik, syakl dan tanda baca pada Al Qur’an dapat dibenarkan karena dalam rangka menjaga Al- Qur’an dari kesalahan ketika membacanya.

Al-Dani meriwayatkan dari Abu Al-Hasan bin Kaisan yang mengatakan bahwa tanda baca yang berada dalam Al-Qur’an merupakan langkah gemilang dari Al- Khalil bin Ahmad Al-farahidi (w 170 H) beliau membuat kemudahan yaitu rumusan berupa huruf wawu kecil yang berada di atas huruf sebagai tanda baca dhommah, huruf ya kecil di bawah huruf sebagai tanda baca kasroh dan dan huruf Alif yang ditidurkan di atas huruf sebagai tanda baca Fathah. Selain itu Al-Khalil pun yang merumuskan tanda baca hamzah, tasydid, dan isyarat bunyi isymam. Dan inovasi- inovasi dalam pemberian tanda baca pun terus berkembang sehingga terus mengalami penyempurnaan seperti yang kita ketahui saat ini.

Sumber:

  • Tim RADEN 2011, Al-Quran Kita: Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamullah
  • Abd al-‘Azhim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur'an, vol. 1

Last Modified: 31/2/2024