Kebenaran Filsafat, Ilmu dan Agama

Manusia, tidak diragukan lagi, adalah makhluk pencari kebenaran. Dalam proses pencariannya itu, manusia senantiasa mempertanyakan berbagai hal dalam hidupnya, mulai dari yang dilihat, disentuh, dibaui, dirasakan, atau didengarkan. Mulai dari yang remeh temeh hingga yang sangat esensial dalam hidup (/ultimate questions/), semisal mempertanyakan keberadaan Tuhan -benarkan Tuhan itu ada atau hanya ilusi belaka, mempertanyakan hakikat kehidupan- dari mana manusia datang, untuk apa dia hadir di dunia, dan ke mana ia akan kembali.

Selain itu kadang ada juga pertanyaan apakah ada kehidupan setelah mati, apakah hakikat kematian itu, mengapa ada orang yang dilahirkan untuk menderita akan tetapi ada orang dilahirkan untuk kaya dan berkuasa, beserta aneka pertanyaan lainnya. Dari proses bertanya dan mencari jawaban tersebut -beserta proses-proses lain yang hadir bersamanya, lahirlah tiga jalan yang bisa dilewati manusia untuk mendapatkan kebenaran , yaitu ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama .

Sebagaimana bisa kita tebak, ketiga jalan atau institusi atau fakultas ini memiliki metode tersendiri dalam mencari, menghampiri, dan menemukan kebenaran yang diinginkannya. Kesimpulan tentang benar tidaknya sesuatu di antara ketiganya bisa sama bisa juga berbeda. Menurut ilmu pengetahuan , sesuatu itu dikatakan benar apabila dapat dibuktikan secara empirik ilmiah dan logis alias masuk akal. Ketika sesuatu tidak dapat dibuktikan secara empiris dan logis, atau hanya memenuhi satu unsur saja, sesuatu itu tidak dikatakan benar secara ilmiah. Itulah mengapa, sebelum sampai pada kesimpulan tentang benar tidak sesuatu, suatu itu harus melewati serangkaian ujian berupa penyelidikan, pengalaman empiris, dan aneka percobaan (eksperimen). Dengan landasan ilmu pengetahuan, pemahaman manusia pun tersusun ke dalam sebuah sistem mengenai tentang kenyataan, struktur, pembagian, bagian dan hukum-hukum tentang semua objek yang diteliti, seperti alam raya, manusia, hingga agama , sejauh yang dapat dijangkau oleh kekuatan.

Bagaimana kebenaran menurut filsafat ? Sesuatu itu dikatakan benar apabila sesuatu itu -baik menyangkut alam, manusia, maupun agama- dapat diterima oleh akal dan terjangkau oleh nalar. Dengan alat filsafat, manusia bisa mempertanyakan secara radikal dan bebas segala sesuatu yang berada di luar jangkauan ilmu pengetahuan. Dalam pandangan C.E.M. Joad, filsafat menghampiri kebenaran dengan cara ?mengembarakan? akal pikiran secara radikal (mendalam), integral (menyeluruh), dan universal (berlaku umum), serta tidak terikat dengan apa pun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri yang bernama logika. Segala sesuatu yang berada di luar jangkauan logika tidak bisa dianggap kebenaran, demikian filsafat mengatakan. Adapun agama, kebenaran yang diyakininya didasarkan kepada wahyu atau firman Tuhan. Dengan kata lain, baik atau buruk, benar atau tidaknya sesuatu sangat ditentukan oleh wahyu. Dalam agama, manusia berusaha mencari dan menemukan kebenaran dengan jalan mempertanyakan dan mencari jawaban tentang pelbagai masalah asasi dalam hidup dengan merujuk kepada Kitab Suci atau kepada hukum-hukum agama yang terkodifikasi.

Berdasarkan penjelasan tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa sumber kebenaran ilmu dan filsafat adalah akal, sedangkan sumber kebenaran agama adalah wahyu Ilahi. Kebenaran ilmu pengetahuan bersifat positif, artinya berlaku sampai saat ini dan bisa tidak berlaku pada saat yang lain. Kebenaran filsafat adalah kebenaran yang spekulatif, artinya kebenaran yang didasarkan pada dugaan yang tidak dapat dibuktikan secara empiris dan eksperimental. Kebenaran yang dimiliki kedua fakultas ini dengan demikian bersifat nisbi alias relatif dan terbatas. Betapa tidak terbatas, ilmu dan filsafat diciptakan oleh akal manusia yang terbatas pula kemampuannya. Adapun agama, kebenaran yang diklaimnya bersifat absolut karena didasarkan kepada wahyu dari Tuhan Yang Mahasempurna dan Mahabenar, sehingga absolut pula kebenarannya.

Walaupun demikian, untuk mencapai kebenaran yang paripurna dan memuaskan, kita tidak cukup mengambil agama dengan menapikan ilmu pengetahuan dan filsafat. Ketiganya harus seiring sejalan dan saling menguatkan. Tanpa keterlibatan akal, wahyu Ilahi akan tumpul, tidak bisa kita pahami atau kita jadikan penuntun yang sempurna dalam kehidupan. Demikian pula tanpa bimbingan waktu , ilmu dan filsafat akan membutakan manusia dari kebenaran yang sejati. Ilmu, filsafat, dan agama sejatinya adalah tiga saudara yang lahir dari rahim yang sama: cinta dan kesempurnaan Tuhan yang tiada terbatas. Bukankah akal adalah ciptaan Tuhan dan wahyu pun disabdakan oleh Tuhan.
(Sumber: Catatan Kuliah Ilmu Filsafat)